Secara bahasa (etimologi), sahwi diambil dari kata sahaa – yashuu –
sahwan – suhuwwan artinya lupa, lalai. Sahaa fil amri artinya lupa
terhadap sesuatu.
Secara istilah (terminologi), sujud sahwi adalah dua kali sujud yang
dikerjakan karena lupa terhadap suatu hal penting dalam shalat.
Kaifiyat (Cara)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
كيفيته: سجود السهو سجدتان يسجدهما المصلي قبل التسليم أو بعده
Caranya: sujud sahwi sebanyak dua kali sujud dilakukan oleh orang
yang shalat sebelum salam atau sesudahnya. (Fiqhus Sunnah, 1/225)
Hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah pada sujud sahwi
terdapat tasyahud dan salam atau tidak. Atau tanpa tasyahud tapi dengan
salam? Atau dibedakan antara sebelum salam dan sesudahnya? Atau
bagaimanakah..?
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah meringkas perbedaan tersebut sebagai berikut:
واختلفوا في التشهد في سجدتي السهو والسلام منهما فقالت طائفة لا تشهد
فيهما ولا تسليم وروي ذلك عن أنس بن مالك والحسن البصري ورواية عن عطاء وهو
قول الأوزاعي،والشافعي لأن السجود كله عندهما قبل السلام فلا وجه لإعادة
التشهد عندهما وقد روي عن عطاء إن شاء تشهد وسلم وإن شاء لم يفعل.
وقال آخرون يتشهد فيهما لا يسلم قاله يزيد بن قسيط ورواية عن الحكم وحماد
والنخعي وقتادة والحكم وبه قال مالك وأكثر أصحابه والليث بن سعد والثوري
وأبو حنيفة وأصحابه. وقال أحمد بن حنبل إن سجد قبل السلام لم يتشهد وإن سجد
بعد السلام تشهد وبهذا قال جماعة من أصحاب مالك وروي أيضا عن مالك.
وقال ابن سيرين يسلم منهما ولا يتشهد فيهما.
Mereka berbeda pendapat tentang bertasyahud dan salam pada dua sujud
sahwi. Sekelompok ulama mengatakan tidak ada tasyahud dan tidak ada
salam, pendapat ini diriwayatkan dari Anas bin Malik, Al Hasan Al
Bashri, dan riwayat dari ‘Atha, dan ini merupakan pendapat Al Auza’i dan
Asy Syafi’i, karena menurut mereka berdua semua sujud dilakukan sebelum
salam, maka tidak ada alasannya mengulangi tasyahud bagi dua sujud itu.
Diriwayatkan dari ‘Atha: jika mau silakan tasyahud dan salam, jika
tidak maka jangan lakukan.
Ulama lain berpendapat, tasyahud dilakukan pada dua sujud itu namun
tidak salam, ini pendapat Zaid bin Qasith, dan merupakan riwayat dari Al
Hakam, Hammad, An Nakha’i, Qatadah, dan ini pendapat Malik dan
kebanyakan para sahabatnya, Al Laits bin Sa’ad, Ats Tsauri, Abu Hanifah
dan para sahabatnya.
Berkata Ahmad bin Hambal, jika sujudnya sebelum salam maka tidak ada
tasyahud, jika sujudnya sesudah salam maka bertasyahud. Dengan ini pula
pendapat segolongan ulama dari sahabat Malik, dan diriwayatkan dari
Malik pula. Ibnu Sirin mengatakan: salam pada kedua sujud itu tapi tanpa
tasyahud. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 10/207-208)
Apa yang dibaca ketika sujud sahwi?
Sebagian fuqaha menyebutkan dalam kitab-kitab mereka bahwa disunnahkan bacaan dalam sujud sahwi adalah:
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَسْهُو وَلَا يَنَامُ
Subhana man laa yashuu wa laa yanaam – Maha Suci Yang tidak pernah lupa dan tidak pernah tidur.
Doa ini berserakan dalam kitab-kitab fiqih induk mazhab Hanafi dan Syafi’i seperti:
1. Mazhab Hanafi
- Imam Ahmad bin Muhamamd bin Ismail Ath Thahawi, Miraqi Al Falah, Hal. 298
2. Mazhab Syafi’i
- Imam An Nawawi, Raudhatuth Thalibin, 1/315
- Imam Sulaiman bin Muhammad Al Bujirumi, Hasyiyah Al Bujirumi ‘Alal Minhaj, 3/106.
- Imam Zakariya Al Anshari, Asna Al Mathalib, 3/156.
- Imam Ar Rafi’i, Syarh Al Kabir, 4/180.
- Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 7/136.
- Imam Sulaiman bin Umar Al Jumal, Hasyiyah Al Jumal, 4/236.
- Imam Syihabudin Al Qalyubi dan Imam Ahmad ‘Amirah, Hasyiyah Qalyubi wa ‘Amirah, 3/97
- Imam Ibnu Ruslan, Syarh Kitab Ghayah Al Bayan, 1/ 209
- Imam Zainuddin Al Malibari, Fathul Mu’in, 1/97
- Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 3/93
- Imam Syihabuddin Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5/233
Namun bacaan ini tidak shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, tidak ada keterangan yang sah tentang ucapan yang mesti dibaca
dalam sujud sahwi.
Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah mengomentari bacaan di atas:
لا يصح تقييد هذا التسبيح في سجود السهو.
Tidak benar mengaitkan tasbih ini pada sujud sahwi. (Muhadzdzab Mu’jam Al Manahi Al Lafzhiyah, Hal. 89)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah juga telah menjelaskan:
قَوْلُهُ سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ
يَقُولَ فِيهِمَا سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو أَيْ فِي
سَجْدَتَيْ السَّهْوِ قُلْت لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا
Ucapannya (Ar Rafi’i): aku mendengar sebagian imam menceritakan bahwa
disunnahkan membaca pada dua sujud itu: Subhana man laa yanaam wa laa
yashuu, yaitu pada dua sujud sahwi. Aku (Imam Ibnu Hajar) berkata: “Saya
tidak temukan asal usul ucapan ini.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish
Al Habir, 2/14. Cet. 1, 1989M-1419H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Oleh karenanya sebagian ulama –seperti Imam Ibnu Qudamah- menyebutkan
bahwa bacaan sujud sahwi adalah sama dengan sujud biasa. Inilah yang
lebih baik.
Berkata Syaikh Abu Thayyib Ali Hasan faraaj:
والصواب: أن يقول في سجود السهو مثل ما يقول في سجود الصلاة
Yang benar adalah membaca pada sujud sahwi seperti membaca pada sujud shalat. (Tanbih As Saajid, Hal. 10)
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:
وبعض الفقهاء يستحب أن يقول في سجود السهو ( سبحان من لا يسهو ولا ينام )
، ولكن لا دليل عليه ، فالمشروع هو الاقتصار على ما يذكر في سجود الصلاة،
ولا يعتاد ذكرا غيره .
Sebagian fuqaha menganjurkan membaca pada sujud sahwi (subhana man
laa yashuu wa laa yanaam), tetapi ini tidak ada dalilnya, maka yang
disyariatkan adalah bacaan sebagaimana dibaca dalam sujud shalat, dan
tidak ada pembiasaan dzikir selain itu. (Fatawa Islamiyah Su’al wa
Jawab, No. 77430)
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
قول في سجود السهو كما يقول في سجود الصلاة لعموم قول الرسول صلى الله
عليه وسلم في قوله تعالى (سبح اسم ربك الأعلى) قال (اجعلوها في سجودكم) فهو
يقول كما يقول في سجود الصلاة وكذلك في الجلسة بين السجدتين يقول فيها كما
يقول في الجلسة بين السجدتين في صلب الصلاة ولا ينبغي أن يقول سبحان من لا
ينسى سبحان من لا يسهو أو ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا لأن هذا لم
يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم
Ucapan pada sujud sahwi adalah sama seperti sujud shalat, karena
keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang firman Allah
Ta’ala: (sabbihisma rabbikal a’la) jadikanlah ia pada sujud kalian.
Maka, bacaannya sebagaimana bacaan pada sujud shalat, begitu juga ketika
duduk di antara dua sujud, bacaannya adalah sama dengan bacaan duduk di
antara dua sujud dalam shalat. Semestinya tidak membaca: subhana man
laa yansaa subhana man laa yashuu atau rabbanaa laa tu’akhidzna innaa
siina aw akhtha’naa, karena bacaan ini tidak ada riwayatnya dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad
Darb, Bab Shalat No. 1531)
(lanjutan)
Sebab-sebab terjadinya sujud sahwi adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Berkata Imam Daud Azh Zhahiri:
لا يسجد أحد للسهو إلا في المواضع التي سجد فيها رسول الله صلى الله عليه وسلم
Tidak seorang pun sujud sahwi kecuali pada tempat yang Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sujud padanya. (At Tamhid, 10/207)
Sujud Sahwi terjadi dalam beberapa keadaan berikut:
1. Memberi salam padahal shalat belum sempurna.
Dalilnya adalah: Dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ سَمَّاهَا أَبُو
هُرَيْرَةَ وَلَكِنْ نَسِيتُ أَنَا قَالَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ
ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ
فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّه غَضْبَانُ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى
الْيُسْرَى وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ وَوَضَعَ خَدَّهُ الْأَيْمَنَ
عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَخَرَجَتْ السَّرَعَانُ مِنْ أَبْوَابِ
الْمَسْجِدِ فَقَالُوا قَصُرَتْ الصَّلَاةُ وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ
وَعُمَرُ فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ فِي يَدَيْهِ
طُولٌ يُقَالُ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَسِيتَ
أَمْ قَصُرَتْ الصَّلَاةُ قَالَ لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ فَقَالَ
أَكَمَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالُوا نَعَمْ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى
مَا تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ
أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ
سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وكبر. فربما سألوه: ثم سلم؟
فيقول: نبئت أن عمران بن حصين قال: ثم سلم.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat bersama kami pada
suatu shalat siang.” Demikianlah Abu Hurairah menamakannya tetapi saya
telah lupa. Dan Abu Hurairah berkata: “Lalu Beliau shalat bersama kami
dua rakaat lalu salam. Kemudian Beliau bangun menuju sebuah kayu yang
terbentang di masjid dan bersandar padanya seakan dia sedang marah. Lalu
Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dan merekatkan
jari-jarinya, dan meletakkan pipi kanannya pada punggung telapak tangan
kirinya. Manusia bergegas keluar melalui pintu masjid dan mengatakan:
“Shalat diqashar!” Pada mereka terdapat Abu Bakar dan Umar. Keduanya
segan untuk menanyakan hal itu. Pada mereka ada seseorang bertangan
panjang yang dinamakan Dzulyadain, dia bertanya: “Wahai Rasulullah,
apakah kau lupa atau kau mengqashar shalat?” Beliau menjawab: “Aku tidak
lupa dan tidak juga qashar.” Maka nabi bertanya: “Apakah benar apa yang
dikatakan Dzulyadain?” Mereka menjawab” “Benar.” Maka beliau maju dan
shalat melanjutkan yang tertinggal, lalu dia takbir dan sujud
sebagaimana sujudnya atau lebih panjang, kemudian mengangkat kepalanya
dan takbir, kemudian takbir dan sujud sebagaimana sujudnya atau lebih
panjang, kemudian dia mengangkat kepalanya lagi dan bertakbir.
Barangkali mereka bertanya: “Kemudian salam?” Dikabarkan kepadaku bahwa
‘Imran bin Hushain berkata: “Kemudian salam.” ” (HR. Bukhari No. 482 dan
Muslim No. 573)
Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam Bab As Sahwi fis Shalah was Sujud Lahu (Bab Lupa Dalam Shalat dan Sujud Karenanya)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sujud sahwi setelah salam, Beliau melakukannya tanpa tasyahud, tetapi
ditutup dengan salam lagi sebagaimana ditegaskan oleh ‘Imran bin
Hushain. Inilah petunjuk yang sangat jelas tentang cara sujud sahwi.
2. Kelebihan jumlah rakaat shalat.
Ini juga menyebabkan seseorang wajib menjalankan sujud sahwi. Dalilnya adalah:
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى
الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ وَمَا
ذَاكَ قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Zhuhur lima
rakaat. Lalu ada orang yang berkata kepadanya: “Apakah memang rakaat
shalat ditambah?” Beliau bersabda: “Memang kenapa?” orang itu menjawab:
“Engkau shalat lima rakaat.” Maka Nabi pun sujud dua kali setelah
salam.” (HR. Bukhari No. 1168 dan Muslim No. 572)
Riwayat ini, menunjukkan sujud sahwi Beliau lakukan setelah salam.
Sujud sahwi setelah salam dilakukan karena kesalahan tersebut diketahui
dan diingat setelah usai shalat (setelah salam).
3. Lupa melakukan tasyahhud awal atau meninggalkan sunah-sunah dalam shalat.
Dalilnya adalah, dari Ibnu Buhainah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فَقَامَ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ فَسَبَّحُوا فَمَضَى فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ
سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat, beliau bangun pada
rakaat kedua, maka jamaah mengucapkan ‘subhanallah’ maka beliau tetap
melanjutkannya, lalu ketika selesai shalat, Belia sujud dua kali lalu
salam.” (HR. An Nasa’i No. 1177, 1178, Ibnu Majah No. 1206, 1207.
Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i
No. 1177, 1178, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1206, 1207)
Menurut hadits ini jika sudah terlanjur tegak berdiri, maka imam
tidak usah duduk lagi, dia lanjutkan saja tetapi setelah selesai shalat
dia sujud dua kali (sahwi) lalu salam. Tetapi, jika berdirinya belum
sempurna tegaknya, maka boleh baginya untuk duduk lagi untuk tasyahhud
awal, dan akhirnya tanpa melakukan sujud sahwi.
Hal ini ditegaskan dalam riwayat dari Mughirah bin Syu’bah
Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ
قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ
وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ
“Jika salah seorang kalian berdiri ketika rakaat kedua tetapi belum
sempurna, maka hendaknya duduk, jika sudah sempurna maka janganlah
duduk. Lalu sujudlah dua kali sebagai sahwi.” (HR. Abu Daud No. 949,
950, Ibnu Majah No. 1208. Hadits ini shahih. Lihat Al Misykah Al
Mashabih No. 1020, As Silsilah Ash Shahihah No. 341)
Riwayat ini menunjukkan bahwa sujud sahwi juga bisa dilakukan sebelum
salam, yakni ketika kesalahan tersebut diketahui dan diingat masih di
dalam shalat.
Hadits-hadits ini juga menunjukkan bahwa meninggalkan sunah-sunah
shalat mengharuskan pelakunya untuk sujud sahwi. Bagaimana meninggalkan
qunut subuh?
Bagi yang meyakini qunut subuh adalah sunah, tentu mereka meyakini
jika meninggalkannya atau salah dalam menempatkannya, maka hendaknya
sujud sahwi. Inilah keyakinan masyhur ulama mazhab Asy Syafi’i.
Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:
ولذلك لو أطال القيام ينوى به القنوت كان عليه سجود السهو لان القنوت
عمل معدود من عمل الصلاة فإذا عمله في غير موضعه أوجب عليه السهو.
“Oleh karena itu, jika seseorang memperlama berdiri, dengan itu dia
meniatkan sebagai qunut, maka wajib baginya sujud sahwi, sebab qunut
adalah amalan tertentu di antara amalan shalat lainnya, jika dia
melakukannya bukan pada tempatnya, maka wajib baginya sahwi.” (Imam Asy
Syafi’i, Al Umm, 1/136, Darul Fikr)
Maka, bagi yang berkeyakinan sebagaimana mazhab Asy Syafi’i bahwa
qunut itu adalah sunah, sedangkan meninggalkan sunah adalah termasuk
sebab terjadinya sujud sahwi, maka sangat wajar dia melakukan sujud
sahwi itu. Tetapi, bagi seseorang yang tidak meyakini adanya qunut
subuh, bahkan membid’ahkannya, karena dia mengikuti pendapat Imam Ahmad
bin Hambal, Imam Abu Hanifah dan lainnya, maka tidak mungkin dia sujud
sahwi karena meninggalkannya, sebab menurutnya qunut subuh adalah bid’ah
dan keliru, tidak mungkin sujud sahwi gara-gara meninggalkan bid’ah dan
kekeliruan. Maka, hal yang menjadi aneh jika ada orang yang tidak
meyakini adanya qunut, tetapi dia sujud sahwi gara-gara meninggalkan
sesuatu yang dianggapnya bid’ah itu. Begitu pula jika dia menjadi makmum
bagi imam yang berqunut, ketika imam sujud sahwi karena meninggalkan
qunut, maka makmum seperti itu tidak perlu ikut sahwi, sebab dia tidak
meyakini syariat qunut. Imam meyakini sunah, maka wajar dia sahwi jika
meninggalkannya, sedangkan makmum meyakininya bid’ah, maka menjadi tidak
wajar jika dia sahwi karena meninggalkannya.
Tetapi, kami menganjurkan, apalagi di daerah yang rawan dan sensitif,
hendaknya makmum bersikap bijak untuk mengikuti dan mengaminkan imam
yang qunut. Bukan karena membenarkannya, tetapi untuk menjaga kesatuan
hati dan rapatnya shaf kaum muslimin. Inilah sikap yang diambil oleh
Imam Ahmad bin Hambal, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh
Ibnu Utsaimin, para ulama di Lajnah Daimah, dan lainnya. (Lihat Tulisan
saya: Sikap Bijak Para Imam Ahlus Sunnah Menghadapi Persoalan Qunut)
Wallahu A’lam
4. Ragu-Ragu Dalam Shalat.
Hal ini juga membuat wajib seseorang untuk sujud sahwi. Dalilnya:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي الْوَاحِدَةِ وَالثِّنْتَيْنِ
فَلْيَجْعَلْهُمَا وَاحِدَةً وَإِذَا شَكَّ فِي الثِّنْتَيْنِ وَالثَّلَاثِ
فَلْيَجْعَلْهُمَا ثِنْتَيْنِ وَيَسْجُدْ فِي ذَلِكَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ
أَنْ يُسَلِّمَ
“Jika di antara kalian ragu, apakah rakaat pertama dan kedua, maka
jadikanlah itu sebagai rakaat pertama saja. Jika kalian ragu pada rakaat
kedua dan ketiga, maka jadikanlah itu sebagai rakaat kedua. Oleh karena
itu, sujudlah dua kali sebelum salam.” (HR. At Tirmidzi No. 396, Ibnu
Majah No. 1204. Hadits ini shahih. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No.
396. Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1204)
Dari hadits ini –dan hadits lain yang serupa- Jumhur ulama mengatakan
bila seseorang ragu-ragu terhadap jumlah rakaat shalat, maka hendaknya
dia meyakinikan rakaat yang lebih sedikit, kemudian dia melakukan sahwi.
Tetapi ada juga ulama yang mengatakan bahwa ragu-ragu dalam shalat,
seseorang yang tidak tahu sudah berapa rakaat shalatnya, bukan
diselesaikan dengan sahwi, tetapi harus diulang shalatnya. Hal ini
diinformasikan oleh Imam At Tirmidzi berikut ini:
و قال بعض أهل العلم إذا شك في صلاته فلم يدر كم صلى فليعد .
“Berkata sebagian ulama: jika seseorang ragu di dalam shalatnya, dia
tidak tahu sudah berapa rakaat shalatnya, maka hendaknya dia mengulangi
shalatnya.” (Sunan At Tirmidzi No. 396)
Dan, pendapat jumhur ulama yang menyatakan sujud sahwi adalah
pendapat yang lebih kuat dan telah diterangkan dalam berbagai hadits
shahih.
Wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wallahu A’lam
—
Catatan Kaki:
1. Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga
mengalami lupa, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Ada juga yang
mengatakan bahwa Beliau tidak boleh lupa, melainkan itu adalah
kesengajaan Beliau. Pendapat ini keliru dan lemah, sebab lupanya Beliau
terhadap sesuatu diakuinya sendiri dan sama sekali tidak menodai
ke-ma’shuman-nya. Justru hikmah dan rahasia lupanya itu merupakan
penjelasan atas tasyri’ (pensyariatan), dan keringanan bagi umatnya jika
mereka mengalami lupa sebagaimana dirinya.
Beliau bersabda:
إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلَاةِ شَيْءٌ لَنَبَّأْتُكُمْ بِهِ
وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ
فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
Sesungguhnya jika terjadi sesuatu dalam shalat saya akan beritahukan
kepada kalian, tetapi saya hanyalah manusia seperti kalian. Saya lupa
sebagaimana kalian lupa, jika saya lupa maka ingatkanlah saya. (HR.
Bukhari No. 401 dan Muslim No. 572)
Namun lupa di sini bukan lupa terhadap tabligh-nya beliau dalam
menyampaikan risalah Islam kepada umatnya, sebab beliau tidak mungkin
kitman (menyembunyikan) dan melalaikan tugasnya.
sumber : dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar